Spesial Dari Redaksi

Berjalan Jauh Mencari Ilmu

Oleh : Muhamad Yasir, Lc

(Syaikh Baqi bin Makhlad, Berjalan Kaki dari Spanyol ke Iraq Demi Menuntut Ilmu)

Imam Ahmad bin Hanbal adalah seorang pakar hadits yang mumpuni hebat. Kepakarannya tidak hanya tenar di tanah Baghdad, namun juga sampai di ujung barat, tempat berdirinya Daulah Umayyah II, tanah Andalusia.

Syaikh Baqi bin Makhlad pun mendengar kabar tentang Imam Ahmad, ia nekad menyeberangi Selat Giblartar, berjalan melalui jalan terjal Maroko, menembus gurun pasir Libiya, melewati lembah Nil Mesir, hingga ia sampai di Baghdad, kota Imam Ahmad bin Hanbal. Perjalanan panjang dari tanah Andalusia menuju Iraq, ia lalui dengan hanya berjalan kaki.

Tapi setibanya di Bagdad, Baqi bin Makhlad mendengar sebuah kabar bahwa Imam Ahmad bin Hanbal mendapat hukuman dari penguasa. Ia dilarang bergaul dengan masyarakat, dan masyarakat pun dilarang belajar darinya.

Baqi bin Makhlad sedih dan kecewa. Tapi, ia tidak mau bersedih terlalu lama. Ia pun melanjutkan perjalanannya ke Baghdad, tanahnya para ulama. Mencari penginapan, meletakkan barang bawaan, kemudian ia segera menuju Masjid Jami’ Al-Kabir, sekedar duduk di majlis ilmu, mendengarkan pengajian yang ada.
Baqi bin Makhlad beruntung, karena di masjid, sebuah pengajian bagus sedang berlangsung. Banyak dikunjungi kaum muslimin yang ingin menuntut ilmu agama.

Baqi berbisik kepada laki-laki di sebelahnya, “Ini pengajian siapa?”
Laki-laki itu menjawab, “Ini pengajian Yahya bin Ma’in.”
Mendengar nama Yahya bin Ma’in, Baqi bin Makhlad pun bersemangat. Sebab ia mengatahui bahwa ia orang yang hebat. Yahya bin Ma’in, ulama hadits terkemuka. Karena itu, ia segera mencari sebuah tempat kosong di dekat sang guru, ia segera pindah duduk di sana.
Baqi bertanya, “Wahai Guru, Yahya bin Ma’in, saya adalah lelaki asing yang merantau jauh dari tanah airnya. Saya ingin bertanya kepadamu.”
Yahya bin Main, “Apa pertanyaanmu?”
Baqi bin Makhlad bertanya nama-nama perawi hadits, dan Yahya bin Main memberikan memuji beberapa nama, sedangkan sebagian lain ia kritikan.
Rasa ingin bertanya masih terlihat dari Baqi’ bin Makhlad. Namun peserta pengajian yang lain pun bersorak, “Sudahi pertanyaanmu saudara! Yang lain juga ingin bertanya,”

Baqi terdiam sejenak, kemudian berdiri. Pertanyaan yang akan ia ajukan kini adalah pertanyaan paling penting. Pertanyaan yang menjadi tujuannya datang ke tanah Baghdad.
“Wahai guru, saya ingin bertanya mengenai seorang lelaki, bernama Ahmad bin Hanbal,”
Raut Yahya bin Ma’in berubah sambil berkata, “Apakah lelaki sepertiku berhak berkomentar mengenai Imam Ahmad bin Hanbal? Ahmad bin Hanbal adalah Imam umat Islam, lelaki terbaik yang dimiliki umat!”
*
Baqi pun berangkat mencari sang imam. Baqi bin Makhlad kini berada di depan sebuah rumah. Seorang lelaki di jalanan Baghdad memberitahunya kalau rumah ini adalah rumah yang ia cari. Ia mengetuk, menunggu, hingga seorang lelaki muncul dari balik pintu. Dialah Imam Ahmad bin Hanbal.

Rasa heran terlihat dari wajah sang Imam. Lelaki yang mengetuk pintunya terlihat asing. Dalam hatinya ia berkata, “Lelaki ini pasti bukan dari Baghdad.”
Baqi berkata, “Wahai Imam Ahmad, saya adalah lelaki asing di sini, perantau.”
Baqi melanjutkan, “Saya rela menempuh perjalanan jauh dari tanah air saya demi mendapatkan riwayat hadits dari Anda.”

“Ah, kalau begitu segera masuk! Jangan sampai terlihat oleh orang lain,” Imam Ahmad segera membawa Baqi masuk, waspada jika mata-mata Sultan memergoki mereka. Ia sadar keadaan ini bukan hanya bisa membahayakan dirinya, namun juga Baqi bin Makhlad.
Imam Ahmad, “Dari mana asalmu?”
Baqi, “Saya dari tanah Andalusia wahai Imam.”
Imam Ahmad takjub. Tak menyangka jika seorang lelaki rela menempuh perjalanan jauh demi menuntut ilmu darinya.
Imam Ahmad berkata, “Perjalanan jauh telah kau lalui. Dan aku sangat ingin membantumu dalam urusan ini. Tapi, kurasa, bukankah kau sudah tahu keadaanku? Kau tahu kalau saat ini aku diboikot bukan?”
Baqi berkata, “Ya, Imam. Saya sudah tahu. Kabar itu kudapat sesaat sebelum aku memasuki gerbang Baghdad.”

Keduanya pun terdiam. Imam Ahmad merasa sayang melihat perjuangan berat yang telah dilalui Baqi. Baqi pun tak ingin perjuangannya sia-sia. Ia berpikir, bagaimana caranya agar ia tetap bisa belajar kepada Imam Ahmad tanpa mendapatkan hukuman dari Sultan.
Sebuah ide muncul di pikirannya.
Baqi, “Wahai Imam! Saya punya sebuah jalan keluar.”
Imam Ahmad, “Apa itu?”
“Jika Imam mengijinkan, saya akan datang kemari setiap hari, menyamar sebagai pengemis. Nanti, saya akan berdiri di depan pintu, memanggil meminta layaknya pengemis. Saat itu saya punya kesempatan untuk berguru kepada Imam. Satu hadits sehari pun cukup bagi saya. Bagaimana menurut Imam?”
Imam Ahmad pun tersenyum.

Imam Ahmad, “Baiklah. Aku akan memberikanmu hadits. Namun aku punya syarat.”
“Apa itu wahai Imam?”
“Kau tak boleh menampakkan diri di majlis manapun, dan kau tidak boleh berguru hadits kepada siapapun selain aku. Jangan sampai orang curiga dan mengetahui identitas aslimu.”
“Baiklah, Imam. Saya sanggupi,” Baqi mengangguk senang.
*
Setiap pagi, Baqi bin Makhlad mengunjungi Imam Ahmad, menyamar sebagai pengemis. Sedikit demi sedikit hadits ia kumpulkan, pagi demi pagi ia lalui. Setiap hari ia mendapat dua-tiga hadits hingga hadits yang telah ia dapat mencapai sekitar 300 hadits.

Kegiatan rahasia itu terus berlanjut hingga Sultan yang menghukum Imam Ahmad meninggal, dan penggantinya membebaskan Imam Ahmad dari segala hukuman. Namanya kembali bersih, murid-muridnya kembali banyak dan kesabaran Baqi bin Makhlad selalu terekam dalam bayangan.

Di setiap pengajiannya, Imam Ahmad selalu memberikan tempat di sebelahnya kepada Baqi bin Makhlad, bangga akan muridnya tersebut.
Imam Ahmad berkata, “Ini adalah sosok penuntut ilmu sejati.”
(Sumber: Safahat min shabri ulama, Abu Guddah)
*
Dibanding Baqi bin Makhlad, ada dimana posisi kita? Sudahkah perjuangan kita sehebat perjuangannya yang berjalan kaki melewati tujuh negara? Sudah berapa jam telah kita sia-siakan, sudah berapa ilmu yang kita hiraukan? Semoga kisah perjuangan Baqi bin Makhlad ini bisa membuat kita lebih semangat.